Sudut mataku menangkap bahasa
tubuhmu yang mulai gelisah. Kakimu sibuk memainkan pasir, sementara pandanganmu
sekali-sekali terarah jauh ke ujung cakrawala, menatap surya yang mulai
beranjak turun dari singgasananya. Kau baru saja mengalihkan pandanganmu dari
sosokku yang tertunduk dalam di sampingmu. Desahan panjang masih terdengar dari
nafasmu. Terdengar begitu frustasi. Aku juga menyadari ada butiran bening yang bersarang
di mata indahmu.
Ah .. aku benci keadaan ini.
Kenyataan ini begitu tiba-tiba.
Asa yang tengah membumbung tinggi turut direnggutnya. Andaikan dari dulu aku tidak membuat kebodohan itu, mungkin tidak akan seperti ini jadinya. Tapi apakah rasa sesal ini akan berguna ?
“Aku minta maaf …” Suara lirihmu
akhirnya terdengar. Memecah kesunyian yang sejak tadi hanya diisi suara ombak
yang berkejar menabrak karang.
Aku tidak tau sebenarnya siapa
yang seharusnya meminta maaf, engkau yang baru saja meruntuhkan harapan atau
aku yang terlambat sadar ?
Sebelum sempat menjawab
permintaan maaf yang kusadari tidak perlu keluar dari mulutmu, aku mendapati dirimu
beranjak pergi. Seulas senyum terakhir yang jelas sekali dipaksakan sempat kutangkap sebelum kau mengucapkan selamat tinggal.
Sementara aku masih diam terpaku seolah badan ini menolak digerakkan. Bahkan aku sendiri tidak punya tenaga untuk sedikit saja membalas senyummu. Hanya tatapan yang sempat kuarahkan pada sosokmu yang terus menjauh dari pandangan.
“Arrghh … Andai saja aku lebih
cepat menyadari semuanya ….” Hatiku kembali berteriak. Tetap tidak puas atas
kebodohan yang membuatku pada akhirnya harus kehilanganmu.
Mataku kembali menatap undangan berwarna merah
marun yang ada di tanganku. Namamu tercetak di sana, dan tentu saja bukan namaku yang mendampinginya.
"Aku ingin bersamamu. Bisakah ?"
Ingatanku melayang pada pertemuan kita setahun yang lalu. Tatkala kudapati engkau mengumpulkan keberanian mengungkapkan rasa yang sebenarnya kusadari lama sudah kau pendam.
"Maaf .. aku tidak bisa"
Jawabanku saat itu masih kuingat dengan sangat baik. Kebodohanku yang tidak menyadari akan pentingnya sosokmu yang selalu hadir membuatku mengatakan jawaban yang ternyata akan kusesali seumur hidupku. Jawaban yang membuat engkau menghilang tanpa jejak, yang pada akhirnya menyadarkanku betapa berartinya dirimu.
Dan hari ini, tepat setahun setelah kau menghilang, kau kembali. Sayangnya kau tidak benar-benar kembali. Karena ketika tak ingin kubuang waktuku untuk menyatakan betapa aku begitu menyesal telah membuatmu pergi, jawaban yang kuterima adalah undangan bertuliskan namamu dan namanya.
-----
Titiran, January 29th 2013
Pic taken from here
2 comments:
kisah nyata kah?
seperti yang pernah saya sampaikan pada teman2 saya, bahwa penyesalan selalu datang di akhir. karena kalau diawal itu namanya bukan penyesalan tapi : pendaftaran
;-)
@tehlely ...
sesuai tagnya teh : fiksi ^_^
Post a Comment